Senin, 07 November 2016

Perilaku Penegak Hukum Yang Harus Ditegakkan

Seperti namanya, penegak hokum adalah peugas hokum yang bertugas menegakakan hokum atau lebih tepatnya menegakkan keadilan. Di Indonesia yang termasuk lembaga penegak hokum antara lain :
1.      Polisi
Personil kepolisian (polisi) adalah penegak hukum didasarkan pada ketentuan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI khususnya bagian Menimbang huruf a dan b; Pasal 1 angka 1, angka 5, dan angka 6; Pasal 2; Pasal 3; Pasal 4; dan Pasal 5. Dari ketentuan pasal-pasal di atas, intinya, personil polisi merupakan bagian dari kepolisian, yang merupakan satu kesatuan yang salah satu fungsinya adalah penegakan hukum dan keberadaannya bertujuan, salah satunya untuk mewujudkan tertib dan tegaknya hukum.
2.      Jaksa
Personil kejaksaan (jaksa) baik sebagai pejabat struktural, fungsional maupun penuntut umum adalah penegak hukum dibawah komando Jaksa Agung didasarkan pada ketentuan UU No 16 Tahun 2004 khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 33, dan Pasal 35.
3.      Hakim
Kekuasaan kehakiman menjalankan fungsi penegakan hukum yang diselengarakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, tempat para hakim menjalankan tugas pokok dan fungsinya
4.      Advokat
“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan” Pasal 5 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Namun dalam prakteknya tak jarang pebegak hokum yang bertugas melakukan penegakkan hokum justru malah melanggar ketentuan hokum sebagai contoh adalah polisi, Polisi yang seharusnya memelihara ketertiban masyarakat, menegakkan hokum, serta memeberikan perlindungan , mengayomi dan melayani masyarakat malah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan dirinya sendiri,  adalah  polisi lalulintas atau yang sering disebut dengan polantas, yang seringkali dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas Polantas tidak memproses pelanggar lalulintas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Banyak kasus pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di tempat oleh oknum aparat penegak hukum atau Polantas, dengan kata lain perkara pelanggaran tersebut tidak sampai diproses menurut hokum. Terkadang polantas yang nakal akan menawarkan tentang penyelesaian kasus pelanggaran lalulintas kepada pelanggar lalulintas yaitu pilih diselesaiakan secaara damai, yakni membayar denda tilang ditempat atau diselasaikan secara hokum.
Di dalam KUHP sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur masalah suap menyuap tersebut yakni: pemberian suap kepada Polantas dapat dikenakan tindak pidana terhadap penguasa umum dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan (Pasal 209 KUHP) . Bahkan usaha atau percobaan untuk melakukan kegiatan tersebut juga dapat dipidana penjara (Pasal 53 (1) (2) jo Pasal 209 KHUP). Sedangkan bagi Polantas yang menerima suap dapat dikenakan tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 419 KUHP). Kendati demikian masih saja banyak ditemukan praktek praktek yang menyalahi hokum yang terjadi di Lalulintas, namun dalam praktinya masih banyak yang melanggar pasal tersebut.
Terjadinya Praktik Suap di Lalulintas tentunya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1.      Masih adanya celah pada prosedur penilangan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum polantas yang tidak bertanggung jawab.
2.      Mindset dari oknum polantas tidak bertanggung jawab yang belum sepenuhnya bekerja sesuai prosedur.
3.      Sifat pengguna jalan yang tidak mau repot dalam menjalani proses tilang, karena mereka harus menunggu beberapa hari hingga beberapa minggu untuk menunggu proses sidang.
4.      Kurang adanya kesadaran terhadap hokum oleh pelanggar ataupun Polantas, yang mengabikibatkan seakan akan mereka mengabaikan bahkan menganggap tidak ada aturan hukum yang berlaku.
Jika dilihat dari factor factor penyebab suap menyuap diatas, sebenarnya Praktik suap di Lalulintas ini terjadi bukan semata-mata hanya karena ulah oknum Polantas yang nakal, tapi juga didukung oleh sifat pengguna jalan yang tidak mau ambil pusing dan tidak mau repot dalam menyelesaikan prosedur tilang yang baik dan benar sesuai hukum yang berlaku. Hal ini menyebabkan Praktik suap ini sulit dihilangkandan karena sudah menjadi kebiasaan buruk yang oleh beberapa pihak dianggap sudah benar, dan karena praktik seperti sudah mendarah daging dalam masyarakat kita sehingga hampir mustahil untuk dihilangkan. Penindakan atas pelanggaran oleh pengguna jalan yang seharusnya menjadi pembelajaran malah menjadi ajang bagi oknum polantas yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan.
Adanya rasa takut dan cemas bagi pengguna jalan yang melakukan pelanggaran menjadi keuntungan tersendiri bagi oknum polantas nakal untuk membawa pelanggar melakukan prosedur tilang yang salah dan tidak sesuai aturan, sehingga uang denda yang dibayarkan pelanggar yang seharusnya masuk ke kas Negara menjadi milik pribadi petugas. Hal ini tentu sangat merugikan Negara karena otomatis pemasukan Negara menjadi berkurang. Selain itu, hal ini juga merugikan bagi citra dan reputasi kepolisian yang mendapat cap mudah disuap, dimana kewibawaan dari seorang polisi akan menurun karena mereka bisa disuap
Dengan adanya suap menyuap ini maka kesadaran masyarakat akan hokum menjadi semakin berkurang , karena mereka tidak akan segan segan bahkan berani melanggar lalulintas karena setiap proses hokum akibat tilang yang diberikan  oleh Polantas terhadap pelanggar lalulintas dapat dibeli dengan uang dengan cara menyuap Polantas. Sedangkan dampak lain adanya suap menyuap ini adalah  menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pihak kepolisian yang bekerja sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, karena polisi yang seharusnya bertugas menegakan hokum malah melanggar hokum. Dan juga akan menimbulkan kesan bahwa segala tindak hukuman yang ada di Indonesia dapat dibeli dengan uang, meski sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa hokum di Indonesia memang dapat dibeli dengan uang, tidak hanya kasus pelanggara lalulintas saja tapi juga sampai kasus korupsi dan lain lain.
Dan apabila praktek praktek seperti ini tetap dibiarkan tanpa adanya penindak lanjutan dari pemerintah khusunya Polri maka lambat laun peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan harapan dipatuhi oleh semua lapisan masyarakat tidak lebih hanyalah menjadi sebuah tulisan diatas kertas semata, karena dalam praktiknya tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam peraturan peraturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut.
Untuk itu, perlu adanya tindakan yang tegas dari kepolisian pusat terhadap pelanggar dan juga oknum polantas yang menyalah gunakan kewenangan yang mereka miliki, demi menegakkan hokum yang ada di Indonessia serta citra dan reputasi polisi yang bertugas menegakakan hokum serta mengayomi masyarakat, salah satu inisiatif awal yang harus dilakukan oleh Polri adalah dengan menerapakan secara benar dan tegas penindak lanjutan terhadap pelanggar lalulintas yang menyuap dan Polantas yang disuap sesuai Pasal 209 KUHP dan Pasal 419 KUHP. Selanjutnya polisi harus menghilangkan semua celah pada prosedur tilang yang berpotensi menjadi sumber praktik suap dan juga alangkah baiknya apanila pihak kepolisian kerap melakukan sosialisi terhadap masyarakat agar kesadaran masyarakat terhadap meningkat sehingga akan meminimalisir tejadinya pelanggaran lalulintas yang tentunya secara otomatis akan mengurangi praktek suap menyuap di lalulintas.





















             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar