Seperti namanya, penegak hokum adalah peugas hokum yang bertugas
menegakakan hokum atau lebih tepatnya menegakkan keadilan. Di Indonesia yang
termasuk lembaga penegak hokum antara lain :
1.
Polisi
Personil kepolisian (polisi) adalah
penegak hukum didasarkan pada ketentuan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI khususnya bagian Menimbang huruf a dan b; Pasal 1 angka 1, angka 5,
dan angka 6; Pasal 2; Pasal 3; Pasal 4; dan Pasal 5. Dari ketentuan pasal-pasal
di atas, intinya, personil polisi merupakan bagian dari kepolisian, yang
merupakan satu kesatuan yang salah satu fungsinya adalah penegakan hukum dan
keberadaannya bertujuan, salah satunya untuk mewujudkan tertib dan tegaknya
hukum.
2.
Jaksa
Personil kejaksaan (jaksa) baik
sebagai pejabat struktural, fungsional maupun penuntut umum adalah penegak
hukum dibawah komando Jaksa Agung didasarkan pada ketentuan UU No 16 Tahun 2004
khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 33, dan Pasal 35.
3.
Hakim
Kekuasaan kehakiman menjalankan
fungsi penegakan hukum yang diselengarakan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya, tempat para hakim menjalankan tugas pokok dan fungsinya
4.
Advokat
“Advokat berstatus sebagai penegak
hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan” Pasal 5 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Namun dalam prakteknya tak jarang pebegak hokum yang bertugas
melakukan penegakkan hokum justru malah melanggar ketentuan hokum sebagai
contoh adalah polisi, Polisi yang seharusnya memelihara ketertiban masyarakat,
menegakkan hokum, serta memeberikan perlindungan , mengayomi dan melayani
masyarakat malah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan dirinya
sendiri, adalah polisi lalulintas atau yang sering disebut
dengan polantas, yang seringkali dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu
lintas Polantas tidak memproses pelanggar lalulintas sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Banyak kasus pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di
tempat oleh oknum aparat penegak hukum atau Polantas, dengan kata lain perkara
pelanggaran tersebut tidak sampai diproses menurut hokum. Terkadang polantas
yang nakal akan menawarkan tentang penyelesaian kasus pelanggaran lalulintas
kepada pelanggar lalulintas yaitu pilih diselesaiakan secaara damai, yakni
membayar denda tilang ditempat atau diselasaikan secara hokum.
Di dalam KUHP sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur masalah
suap menyuap tersebut yakni: pemberian suap kepada Polantas dapat dikenakan tindak
pidana terhadap penguasa umum dengan pidana penjara paling lama 2 tahun delapan
bulan (Pasal 209 KUHP) . Bahkan usaha atau percobaan untuk melakukan kegiatan
tersebut juga dapat dipidana penjara (Pasal 53 (1) (2) jo Pasal 209 KHUP).
Sedangkan bagi Polantas yang menerima suap dapat dikenakan tindak pidana dengan
ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 419 KUHP). Kendati demikian masih
saja banyak ditemukan praktek praktek yang menyalahi hokum yang terjadi di Lalulintas,
namun dalam praktinya masih banyak yang melanggar pasal tersebut.
Terjadinya Praktik Suap di Lalulintas tentunya disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain :
1.
Masih
adanya celah pada prosedur penilangan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum
polantas yang tidak bertanggung jawab.
2.
Mindset
dari oknum polantas tidak bertanggung jawab yang belum sepenuhnya bekerja
sesuai prosedur.
3.
Sifat
pengguna jalan yang tidak mau repot dalam menjalani proses tilang, karena
mereka harus menunggu beberapa hari hingga beberapa minggu untuk menunggu
proses sidang.
4.
Kurang
adanya kesadaran terhadap hokum oleh pelanggar ataupun Polantas, yang
mengabikibatkan seakan akan mereka mengabaikan bahkan menganggap tidak ada aturan
hukum yang berlaku.
Jika dilihat dari factor factor penyebab suap menyuap diatas, sebenarnya
Praktik suap di Lalulintas ini terjadi bukan semata-mata hanya karena ulah
oknum Polantas yang nakal, tapi juga didukung oleh sifat pengguna jalan yang
tidak mau ambil pusing dan tidak mau repot dalam menyelesaikan prosedur tilang
yang baik dan benar sesuai hukum yang berlaku. Hal ini menyebabkan Praktik suap
ini sulit dihilangkandan karena sudah menjadi kebiasaan buruk yang oleh
beberapa pihak dianggap sudah benar, dan karena praktik seperti sudah mendarah daging
dalam masyarakat kita sehingga hampir mustahil untuk dihilangkan. Penindakan
atas pelanggaran oleh pengguna jalan yang seharusnya menjadi pembelajaran malah
menjadi ajang bagi oknum polantas yang tidak bertanggung jawab untuk mencari
keuntungan.
Adanya rasa takut dan cemas bagi pengguna jalan yang melakukan
pelanggaran menjadi keuntungan tersendiri bagi oknum polantas nakal untuk
membawa pelanggar melakukan prosedur tilang yang salah dan tidak sesuai aturan,
sehingga uang denda yang dibayarkan pelanggar yang seharusnya masuk ke kas
Negara menjadi milik pribadi petugas. Hal ini tentu sangat merugikan Negara
karena otomatis pemasukan Negara menjadi berkurang. Selain itu, hal ini juga
merugikan bagi citra dan reputasi kepolisian yang mendapat cap mudah disuap,
dimana kewibawaan dari seorang polisi akan menurun karena mereka bisa disuap
Dengan adanya suap menyuap ini maka kesadaran masyarakat akan hokum
menjadi semakin berkurang , karena mereka tidak akan segan segan bahkan berani
melanggar lalulintas karena setiap proses hokum akibat tilang yang
diberikan oleh Polantas terhadap
pelanggar lalulintas dapat dibeli dengan uang dengan cara menyuap Polantas. Sedangkan
dampak lain adanya suap menyuap ini adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat
kepada pihak kepolisian yang bekerja sebagai pelayan dan pengayom masyarakat,
karena polisi yang seharusnya bertugas menegakan hokum malah melanggar hokum. Dan
juga akan menimbulkan kesan bahwa segala tindak hukuman yang ada di Indonesia dapat
dibeli dengan uang, meski sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa hokum di
Indonesia memang dapat dibeli dengan uang, tidak hanya kasus pelanggara
lalulintas saja tapi juga sampai kasus korupsi dan lain lain.
Dan apabila praktek praktek seperti ini tetap dibiarkan tanpa
adanya penindak lanjutan dari pemerintah khusunya Polri maka lambat laun peraturan
yang dibuat oleh pemerintah dengan harapan dipatuhi oleh semua lapisan
masyarakat tidak lebih hanyalah menjadi sebuah tulisan diatas kertas semata,
karena dalam praktiknya tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam peraturan
peraturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut.
Untuk itu, perlu adanya tindakan yang tegas dari kepolisian pusat
terhadap pelanggar dan juga oknum polantas yang menyalah gunakan kewenangan yang
mereka miliki, demi menegakkan hokum yang ada di Indonessia serta citra dan reputasi
polisi yang bertugas menegakakan hokum serta mengayomi masyarakat, salah satu
inisiatif awal yang harus dilakukan oleh Polri adalah dengan menerapakan secara
benar dan tegas penindak lanjutan terhadap pelanggar lalulintas yang menyuap
dan Polantas yang disuap sesuai Pasal 209 KUHP dan Pasal 419 KUHP. Selanjutnya polisi
harus menghilangkan semua celah pada prosedur tilang yang berpotensi menjadi
sumber praktik suap dan juga alangkah baiknya apanila pihak kepolisian kerap
melakukan sosialisi terhadap masyarakat agar kesadaran masyarakat terhadap
meningkat sehingga akan meminimalisir tejadinya pelanggaran lalulintas yang
tentunya secara otomatis akan mengurangi praktek suap menyuap di lalulintas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar